Thomas Mattulessy merupakan tokoh fiktif yang harus dihapus dari
catatan sejarah Indonesia. Yang sesungguhnya ada adalah Patimura yang
memiliki nama ash Ahmad Lussy atau dalam bahasa Maluku disebut Mat
Lussy. Tokoh ini lahir di Hualoy, Seram Selatan, wilayah Islam tahun
1783. Ini sekaligus membantah versi pemerintah yang menyebut Patimura
lahir di Saparua. Mat Lussy merupakan bangsawan dari kerajaan Islam
Sahulau, yang saat itu diperintah Sultan Abdurrahman. Raja ini dikenal
pula dengan sebutan Sultan Kasimillah (Kasim Al¬lah, Pelayan Allah) atau
dalam lidah Maluku disebut ‘Kasimiliali’.
Dalam buku biografi versi pemerintah yang ditulis M Sapija dikatakan
jika Pattimura tergolong turunan bangsawan dan berasal dari Nusa Ina
(Seram). Ayahnya bernama Anthoni Mattulessy adalah anak dari Kasimiliali
Pattimura Mattulessy. Yang terakhir ini adalah putra raja Sahulau.
Sahulau bukan nama orang tetapi nama sebuah negeri yang terletak dalam
sebuah teluk di Seram Selatan”.
Keterangan Sapija tersebut janggal. Sapija tidak jujur dengan tidak
menuliskan sebagai Pelayan Allah dan Sapija tidak menyebut Sahulau itu
adalah kesultanan. Lalu Sapija juga mengada-adakan marga Pattimura
Mattulessy, padahal di negeri Sahulau tidak ada marga Pattimura atau
Mattulessy. Di sana hanya ada marga Kasimiliali yang leluhur mereka
adalah Sultan Abdurrahman. Penulis sendiri pernah langsung berdiskusi
dengan salah seorang Panglima Perang Hitu di tahun 1999 dimana dia
menyatakan jika Patimura adalah Marga Muslim sedangkan Mattulessy adalah
Kristren. Jadi tidak ada yang namanya Patimura Matulessy. Yang beranam
Patimura pastilah dia seorang Muslim.
Mansyur Suryanegara menyatakan marga Patimura masih ada sampai kini.
Dan semua orang yang bermarga Pattimura sekarang ini beragama Islam.
Orang-orang tersebut mengaku ikut agama nenek moyang mereka yaitu
Pattimura. Dan lagi, Maluku pada masa itu dipenuhi oleh
kerajaan-kerajaan Islam dengan empat kerajaan Islam besar yakni Tidore,
Ternate, Bacan, dan Jailolo. Begitu banyak kerajaan Islam di sini
sehingga Ibnu Batutah menyebutnya sebagai lazirah al-Mulk’ atau Tana
Para Raja.’
Dalam wawancara dengan penulis di kediamannya di Bandung pada 2001,
Mansyur menyatakan jika umat Islam itu mayoritas di Maluku dan Ambon,
jadi bukan wilayah Kristen. “Ada cara mudah untuk membuktikannya, lihat
saja dari dari pesawat yang sedang terbang, akan terlihat banyak masjid
atau banyak gereja. Kenyataannya, lebih banyak menara masjid daripada
gereja di sana.”
Dan lagi, adalah fakta sejarah jika nyaris seluruh perlawanan terhadap
penjajah¬apakah itu Portugis, Spanyol, atau pun VOC -Belanda—seluruhnya
dibangkitkan oleh tokoh-tokoh Islam. Ini disebabkan antara lain semua
penjajah itu membawa misi penyebaran salib. Jadi amat aneh jika ada
orang-orang non-Muslim yang juga mengangkat senjata melawan para
misionaris imperialis Mi. Bukankah ini berarti perlawanan Para Domba
terhadap Sang Gembala? Jelas mustahil. Adalah fakta sejarah pula jika
prang¬orang pribumi yang mau memeluk agama kaum penjajah ini akhirnay
bergabung dan mau menjadi tentara kaum penjajah yang rnemerangi
bangsanya sendiri.
Salah satunya adalah tentara Marsose yang diterjunkan ke Aceh yang
terdiri dari orang-orang pribumi non-Muslim yang bekerja melayani para
penjajah.
Seluruh perlawanan yang dibangkitkan merupakan perlawanan terhadap
upaya 3G (Gold, Glmius, and Gospel) yang dibawa para kafir penjajah.
Demikian pula yang dikobarkan Ahmad Lusy Patimura. Pada 1817, Patimura
berhasil merebut Benteng Duurstede di Saparua, dan menewaskan residen
Van den Bergh. Jihad ini meluas ke Ambon, Scram, dan tempat-tempat
lainnya. Jihad yang digelorakan Patimura bisa kita lihat dalam tradisi
lisan Maluku yang masih terpelihara hingga kini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar